Bulan Oktober ini sepertinya tak henti menyisakan kepedihan. Tuhan ternyata telah memberlakukan kehendakNya diluar apa yang kita mau, sehingga alam ciptaanNya enggan untuk berdamai dengan manusia. Amukan banjir bandang di Papua barat 4 Oktober yang memporakporandakan Wasior, Manggurai, Wondamai hingga Wandiboy, meluluhlantakkan pemukiman dan menewaskan hampir 200 orang warga. Jakarta, kota metropolitan yang setiap tahun menjadi langganan banjir, pada bulan ini mencatatkan kerugian akibat banjir sebagai yang tertinggi dalam sejarahnya, begitupun banjir-banjir yang terjadi di hampir 100 kabupaten dan kota di Indonesia. Merapi, gunung api terbilang paling aktif di dunia yang terletak di pulau Jawa, bulan ini, ikut memperlihatkan keberingasannya sejak tanggal 25 Oktober. Letusan-letusan asap dan material disertai awan panas yang terbilang dahsyat (mendekati 600 derjat celcius) yang terjadi 27 Oktober telah menghanguskan apapun yang ada di sekitarnya, rumah, pohon ,ternak, dan manusia dalam sekejap menjadi gosong dan kaku tak berdaya. Pekikan parau , tangisan dan suara-suara pilu seperti tertelan oleh gemuruh longsoran material Merapi. Sebaran abu vulkanik yang menyesakkan dada membuat sejumlah desa dalam radius lebih dari sepuluh kilometer diseputar Merapi menjadi buram seperti tak berpengharapan. Gempa bumi berskala 7,2 SR, disusul gelombang Tsunami di pulau Pagai Selatan Kabupaten Kepulauan Mentawai terjadi menjelang tengah malam (25 Oktober). Goncangan bumi yang terjadi saat warga desa Belagu dan Muntai Baru yang terletak di pesisir Pagai selatan, membuai seakan menjadi pengantar tidur, namun sekonyong disusul terjangan gelombang yang menyapu bersih kedua desa ini, dan akhirnya menyisakan puing dan jasad-jasad manusia yang tercabik-cabik oleh ganasnya hempasan air, kayu, batu dan material bangunan rumah-rumah mereka sendiri. Ratusan orang telah menjadi korban dan ratusan lainnya dinyatakan hilang entah kemana…..
(hingga tulisan ini dibuat, masih dilakukan pendataan)
Bencana beruntun yang terjadi selama Oktober meninggalkan duka yang begitu dalam di setiap sanubari yang peka, meruntuhkan banyak sekali harapan, dan meninggalkan jejak trauma psikologis bagi yang ikut merasakan. Meski bagi korban berlalunya bencana adalah “ketenangan”, dan mereka tidak perlu lagi terusik dengan berbagai kecemasan. Namun bagi yang ditinggalkan adalah kepedihan yang tak terkatakan, menggumam pilu (seperti) tidak rela dengan apa yang telah menimpa orang tua, istri, suami, anak, saudara, dan semua yang mereka cintai ; sebegitu kejamnya alam merenggut semua itu dari mereka. Tidak hanya keluarga terdekat, mereka yang nun jauh di ujung sanapun dapat merasakan kepedihan yang menimpa warga yang terkena bencana, diantara mereka, yang meskipun, tidak dapat melakukan apa-apa untuk meringankan penderitaan itu, paling tidak, ikut berempati dengan penderitaan sesama. Banyak naluri kemanusiaan tersentak untuk menyatakan belasungkawa, untuk menyisihkan sebagian harta dalam rangka mengurangi penderitaan mereka, mengorbankan waktu dan tenaga membantu meringankan beban-beban mereka, atau, paling tidak, untuk sekadar besimpuh menadahkan tangan bermohon pada Yang Kuasa agar yang “pergi” memperoleh ketenangan di sisiNya dan yang ditinggalkan selalu tabah dan sabar……..
Bencana demi bencana tak urung telah mengusik kesadaran keTuhanan manusia. Banyak yang berspekulasi tentang kemarahan Tuhan atas sikap-sikap manusia yang telah kehilangan rasa takut untuk mengingkari ketentuanNya. Tak sedikit pula yang menyadari bencana sebagai peringatan dan ujian ilahiyah dalam rangka mengukuhkan keimanan terhadap ‘kekuasaan yang tak terbatas’ yang dimiliki sang Khaliq atas makhluq ciptaanNya atau sebagai wujud bukti kasih sayangNya. Banyak juga di sana yang berspekulasi tentang bencana sebagai siklus alam yang bukan sunnahNya, dan dengan angkuh mengkultus ilmu, mendewakan perhitungan matematis, lalu memberikan prediksi-prediksi “menakutkan” untuk menambah beban traumatis warga daerah bencana, menebar keputusasaan dalam duka yang tak pernah putus dan nyaris kehilangan harapan. Ada di sana manusia klenis namun fanatis menunjukkan keyakinan dirinya dengan menyanggah kekuasaan Ilahi secara salah, menerobos batas-batas alamiah menjalin interaksi semu dengan alam untuk menundukkan keganasannya dengan niteni yang bersifat naluriah, membungkus fanatisme tradisional keratonan yang meyakini alam dikuasai oleh sejumlah penguasa ; eyang empu dan eyang panembahan sapujagad. Namun tatkala wedhus gembel menyambanginya …keyakinannyapun luruh, kemudian “bersujud” entah untuk keyakinannya lalu “menyediakan diri” ditelan bencana, atau sebagai pernyataan pertobatan atas kekeliruannya pada kekuasaan Tuhan…..tidak ada yang tahu!
Di sana juga ada manusia-manusia tak memiliki naluri kemanusiaan yang tak mampu menunjukkan empati dan kepedulian terhadap penderitaan sesama. Manusia yang telah kehilangan sensitifitas karena terlanjur “tercebur” ke dalam limpahan kesenangan dan “semerbakwangi”nya kehidupan Senayan, hingga tidak lagi mampu mencium dan merasakan “wangi”nya penderitaan rakyat kecil, padahal, untuk rakyat kecil itulah ia bisa “menikmati” Senayan, dan kepadanyalah, seyogianya, digantungkan nasib rakyat. Namun, pada saat rakyat menjeritkan penderitaan atas bencana yang menimpa,… dengan enteng ia berkata : “itulah resiko tinggal di daerah rawan bencana, kalau takut bencana ya pindah sajalah!.......sebuah kalimat yang menyayat hati dan tak seharusnya keluar dari mulut seorang pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat yang (katanya) sangat terhormat di negeri ini…….. la’anallahu lahu wa na’uzubillah min zalik……
Baca lanjutannya...
Duka Oktober…di “wajah miris” bangsa ini
Selamat Jalan.....Saudaraku!
Belum berjarak dua minggu, aku sepertinya harus menulis lagi catatan harian yang lagi-lagi bernada lirih, karena duka atas” kepergian” orang-orang yang sangat dekat denganku. Setelah Ibunda, kepergian seorang saudaraku, yang sejak lebih dari tiga puluh tahun selalu bersama, kembali mengusik ruang kesadaranku. Saudaraku itu adalah Dr. H. Ahmad Shafwan Nawawi, M. Ag dan aku memanggilnya secara akrab dengan sebutan Pak Haji. Ia dipanggil oleh Yang Maha Kuasa menghadapNya pada dini hari Rabu 20 Oktober 2010 (jam 00.10) setelah menjalani operasi tumor ginjal di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta. Pak Haji denganku (sejak 33 tahun yang lalu) sama-sama mengayuh dalam satu biduk untuk mengemban amanah cita-cita, mengawali pendidikan tinggi sejak tahun 1977 di fakultas yang sama (Adab), dan setelah selesai menamatkan studi, di sini pulalah kami sama-sama mengawali karir sejak dari CPNS (Cados) pada tahun 1986 yang lalu. Meski kami memiliki latar pendidikan menengah yang sama, namun di sini kami memilih bidang studi yang berbeda, tapi perbedaan bidang studi itu pulalah yang terkadang membuat kami merasa selalu harus bersama. Bila pak Haji memilih studi Sastra Arab, aku memilih menekuni Sejarah dan Kebudayaan Islam.
Bagai halilintar menggelegar di tengah malam kurasakan saat aku mendengar informasi ‘kepergiannya’ yang aku terima beberapa menit setelah ia dinyatakan berpulang ke rahmatullah di ruang perawatannya nun di Jakarta sana. Saudaraku yang beberapa waktu sebelumnya masih terlihat segar tanpa sedikitpun ada bayangan sakit yang dideritanya, ternyata telah ‘pergi’ menghadap Khaliqnya. Masih segar dalam ingatanku dialog canda kami menjelang Ramadhan 1341 yang lalu sebelum almarhum berangkat ke Australia menunaikan tugas keummatan selama bulan suci itu. Kami “menertawakan” berbagai hal ketimpangan persepsi yang terjadi di lembaga kami yang kemudian menimbulkan dilemma antara tugas keummatan atau keislaman dengan realitas administratif pendidikan oleh Negara, meski lembaga ini sesungguhnya mempunyai misi yang berorientasi keummatan dan keislaman, namun dimensi administrasi sering membuat hakikat misi itu menjadi kaku. Dialog ini terjadi sehubungan dengan proses izin Pak Haji meninggalkan tugas-tugas selama berdakwah ke Australia. Sebagai atasan administratif ada keharusan aku harus berjalan diatas aturan-aturan kaku yang terkadang bertolak belakang dengan pemikiranku. Pak Haji sangat memahami itu, namun, disinilah aku betul-betul melihat komitmen seorang Shafwan khusus dalam hal sikap keberagamaannya, “Bagiku tidak ada persoalan izin, karena yang akan kujalankan adalah misi lembaga kita juga, meski konsekuensinya saya harus diberhentikan sebagai pegawai negeri” ini dikemukakannya kepadaku setelah berbagai upaya untuk mendapatkan izin dari pihak pimpinan tertinggi lembaga kami, mengalami kebuntuan. Tema inilah yang kemudian memotivasi kami untuk terlibat dalam pembicaraan panjang sebelum Ramadhan itu. Perlu aku kemukakan, bahwa meskipun secara administratif aku adalah atasannya, namun dalam keseharian kami tetaplah sebagai teman. Jujur aku katakan bahwa sejak dulu dia banyak memberikan inspirasi terutama dalam hal sikap keberagamaanku, bahkan dalam hal ini kuakui, dia (sesungguhnya) adalah guru bagiku. Ini pulalah alasannya, kenapa dari dulu aku tidak pernah memanggilnya dengan menyebut nama tapi dengan sebutan Pak Haji, meski kami masih dalam satu generasi dan hanya terpaut beberapa tahun saja.
Meski antara aku dan Pak Haji memiliki kesamaan karir dan tujuan, namun kami pernah menempuh jalan yang berbeda. Kami miniti karir sebagai dosen fakultas Adab bersama-sama dalam bidang yang berbeda. Beberapa tahun kami pernah terpisah sebelum menyelesaikan tingkat sarjana, pak Haji menambah wawasan luar negeri (Sudan) sedangkan aku hanya memilih menuntaskan studi di fakultas Adab, namun kamipun akhirnya bersama kembali dalam menyelesaikan kesarjanaan di fakultas yang sama. Selesai pendidikan tingkat sarjana, pada tahun 1986, kamipun sama-sama membaktikan diri di dua lembaga yang dibentuk di almamater kami ; Aku memimpin Lembaga Kebudayaan Islam, sedangkan pak Haji memimpin Lembaga Bahasa dan Tarjamah pada fakultas yang sama, itupun karena perbedaan bidang yang kami tekuni masing-masing. Begitu juga selama berkarir sebagai dosen di fakultas Adab kamipun pernah memiliki interest aktifitas yang berbeda, pak Haji lebih banyak beraktifitas di bidang keagamaan dan kemasyarakatan serta beberapa waktu di dunia politik, sementara aku lebih banyak menekuni aktifitas internal lembaga saja. Aktifitas sosial keagamaannya itulah yang, menurutku, telah membentuk karakater yang begitu kuat dalam keperibadiannya. Bahkan prestasi pribadi dalam bidang ini boleh di bilang luar biasa, meski pernah (di waktu tertentu) dia hampir betul-betul “terjerumus” di dunia politik dan mengabaikan tujuan ideal pendidikannya sendiri dan bahkan nyaris mengabaikan karirnya di dunia perguruan tinggi. Tapi ini pulalah yang kemudian telah membuat aku begitu salut dari saudaraku ini. Pada saat ia “kembali” ke habitat semula, ia menyatakan padaku : “cukuplah bagi saya pengalaman dunia politik untuk proses pembelajaran, saya ambil apa yang seharusnya berguna bagi cita-cita ideal saya dalam berkomitmen pada umat”. Setelah itu, ternyata komitmen ini dia buktikan, dan secara kebetulan pula “pembelajaran” yang berguna itupun sangat mendukung cita-cita idealnya. Meskipun kemudian, kami kembali bersama dalam membaktikan diri di dunia pendidikan, namun aktifitas sosial yang dijalankannya tidak terlihat menurun, tapi justru malah makin menguat, komitmennya terhadap umat tidak makin pudar justru semakin mendapatkan bentuknya yang kokoh. Ini terbukti dari beberapa aktifitas keummatan yang dijalankannya beberapa tahun terakhir. Tanpa mengenal lelah ia membaktikan dirinya untuk pemberdayaan umat, meski dia harus membagi waktu secara ketat untuk tetap memenuhi tugas-tugas kelembagaan kami yang menjadi tugas utamanya. Ia membaktikan waktu-waktunya yang tersisa untuk berbakti pada umat. Namun sangat disayangkan pengabdiannya yang “keras” ini telah meluputkan perhatiannya pada kesehatan dirinya sendiri. Dari dulu aku mengerti betul tentang betapa kuatnya dia memegang sebuah komitmen, meski untuk itu dia harus mengorbankan kepentingannya sendiri, dia sosok pribadi yang tanpa pamrih bila itu menyangkut umat. Namun, sangat kusesali kenapa akupun luput mengingatkan dia untuk menyeimbangkan kedua interes ini dalam kehidupannya.
Kepergiannya membawa duka yang begitu dalam bagiku, dan tentunya juga, bagi banyak orang. Perasaan kehilangan seorang sosok teman dalam arti yang sesungguhnya. Banyaknya orang yang menunjukkan simpati atas kepergiannya cukup membesarkan hati, betapa temanku ini semasa hidupnya sangat berarti bagi banyak orang, namun itu belum cukup untuk mengurangi rasa duka atas kepergiannya. Sikap hidup yang dia tunjukkan telah memberi pelajaran berharga, setidaknya bagi aku sendiri. Masih banyak “dialog yang aku perlukan dengannya…..tapi ia keburu pergi menemui sang Khaliq. Selamat Jalan Saudaraku……..semoga pengabdianmu dibalasi oleh Allah dengan balasan yang setimpal, amiin !
Baca lanjutannya...
IBUNDA.......Kuikhlaskan Kepergianmu
1
Tidak seperti biasanya, pada hari itu (Selasa 5 Oktober) aku memutuskan untuk membatalkan keikutsertaanku pada suatu kegiatan penting yang akan dilaksanakan di Malang Jawa Timur minggu depan, ( 12 sampai 14 Oktober 2010). Pembatalan ini cukup mengherankan stafku di kantor, karena kali ini tidak ada alasan yang cukup jelas aku kemukakan......”saya tidak bisa berangkat ke Malang, dan saya tidak bisa menjelaskan kenapa…..ada sesuatu yang sulit dikemukakan” ucapku, entah kenapa pernyataan sekenanya seperti itu aku kemukakan, jangankan dia, aku sendiri bahkan heran dengan pernyataan itu. Kamipun menyepakati untuk mengirim beberapa orang utusan untuk kegiatan itu tanpa keikutsertaanku yang seharusnya memimpin utusan itu. Beberapa hari setelah itu aku merasa semakin yakin dengan keputusan itu, meski keyakinan ini juga masih belum memiliki alasan yang cukup konkrit. Hari-hari berikutnya aku seperti “dipaksa” untuk berfokus pada Ibuku di kampung yang sudah sejak beberapa bulan yang lalu mengalami ‘uzur karena umur dan sakit. Aku akan pulang!……begitu bisikan hatiku, meski untuk itu baru akan dapat aku laksanakan pada hari Sabtu 09 Oktober 2010 setelah menimbang kegiatan yang terpaksa harus aku batalkan. Entah karena kebetulan, tapi yang pasti Tuhan telah menggerakkan, aku yang merencanakan ke kampung hari Sabtu sejak dua hari yang lalu itu, ternyata pada pagi Sabtu ini justru kakak dan adikku di Riau telah mendapat telepon dari kampung untuk segera pulang, karena Ibu kami kondisinya kritis, tidak bisa lagi bangkit dari tempat tidur, tidak berbicara, dan tidak bisa menelan makanan. Aku yang sebelumnya sudah bersiap-siap untuk berangkat, lalu menerima telepon dari kakakku itu mengabarkan kondisi Ibu seperti itu. Allahu Akbar…….ucapku, Tuhan memang
menggerakkanku, kenapa sangat bertepatan sekali dengan rencanaku untuk pulang hari ini.
2
Dengan perasaan pilu, kudapati Ibuku sedang terbaring di tempat tidur tanpa daya, tidak terdapat rona kesakitan yang terpantul di wajahnya, namun ketiadaan makanan yang masuk ke perut beliau telah membuat ia semakin lemah tak berdaya, ingin rasanya aku meraung melihat perubahan drastis kondisi Ibu yang beberapa waktu sebelumnya masih kusaksikan senyum yang selalu menyambut aku pulang. Tanpa pikir panjang kuputuskan untuk mendatangkan dokter ke rumah untuk membantu agar mengusahakan beliau dapat memperoleh asupan makanan. Kondisinya yang lemah membuat aku tidak tega membawanya ke tempat dokter. Aku bersama adikku segara mencari dokter dari beberapa desa tetangga….namun usaha kami sia-sia, karena tidak satupun dokter yang berada dirumahnya, …..semua pada keluar, hingga kamipun pulang dengan tangan kosong. Akhirnya, aku baru teringat pada ‘anakku’ (persisnya anak sepupuku) yang dokter dan lagi bertugas di Batu Sangkar. Kamila, demikian namanya, lalu kutelepon untuk meminta bantuannya, ku berharap, paling tidak, bisa menunjukkan bagaimana cara asupan makanan itu dapat diberikan ke Ibu. Alhamdulillah, pada hari itu dia juga tidak sedang bertugas dan bersedia untuk menemui Ibu. Tanpa pikir panjang aku berangkat menjemputnya ke Batu Sangkar yang berjarak lk. 30 km dari kampungku. Setelah mempersiapkan segalanya dari Batusangkar, kamipun berangkat. Malamnya barulah asupan makanan bisa diberikan melalui slang yang dimasukkan ke hidung beliau, sambil berharap mudah-mudahan ini akan membantu kekuatan beliau untuk bertahan. Hingga Minggu siang, aku sedikit lega, paling tidak, karena Ibuku sudah mendapatkan makanan, meski beliau lebih banyak tidur.
3
Siang ini…aku seyogianya kembali ke Padang, karena ada beberapa yang harus kupersiapkan sehubungan dengan keberangkatan utusan kantorku ke Malang pada pagi Senin besok (11 Oktober) serta kegiatan pada Senin pagi yang harus kuikuti di KPPN. Namun terasa hatiku mendua, antara Ibu dan tugas yang harus kuselesaikan…..lama aku bisa memutuskan apakah aku akan ke Padang dulu atau tetap menemani Ibuku…….berkali-kali aku bolak balik…ragu atas keputusan apa yang akan kuambil, meski beberapa keluarga berusaha meyakinkanku untuk berangkat ke Padang, tapi kebimbanganku tidak berkurang, hingga akhirnya aku putuskan untuk pamit kepada ibuku yang terbaring pulas. Terasa menganggu tidur beliau, tapi ku tetap memaksakan diri pamitan dengan coba membangunkan beliau pelan-pelan. Kuraih tangannya yang lemas kuusap-usap dan kupandangi wajahnya berharap beliau mengetahui maksudku….tapi beliau tetap pulas….dan kucoba untuk membatin memohon pamit, memohon maaf atas segala kesalahan dan kekhilafanku pada beliau…..komunikasi ini ternyata berlanjut, tampil banyak sekali episode kehidupan bersama pada saat-saat beliau masih sehat ceria, tanpa sadar aku menempelkan dahiku ke tangan beliau yang lemas…… sejuta perasaan pun tertumpah ruah, sejuta asapun berharap kesembuhannya dan mengembalikan masa-masa itu, dan emosikupun tanpa dapat kukontrol dalam pembatinanku itu, hingga dadaku semakin sesak dan meledakkan tangisan yang tertahankan, setelah kusadari, kucoba berucap doa ….“ ya Allah aku memohon kesembuhan atas Ibuku, ku berharap jangan Engkau biarkan dia dalam keadaan lemas tak berdaya seperti ini…….berikanlah jalan yang terbaikMu untuk tidak membuat beliau menderita tak berdaya seperti ini…..ya Allah sayangi Ibuku sebagaimana beliau menyayangiku waktu kecil……berikan petunjukMu atas hambamu yang lemah ini ya Allah. Kabulkan doa ku ya Rabb…amin”. Seperti tidak kupercaya….dadaku yang tadinya sesak terasa agak sedikit nyaman, dan aku seperti diberi keyakinan atas keraguanku atas keputusan itu, aku yakin Allah akan menjaga Ibuku dan Dia akan memberikan jalan terbaik bagi hambaNya…..Saat ku buka mataku yang basah dan kulepaskan dahiku dari tangannya,… kembali kupandangi Ibuku….tetap pulas tidurnya, namun ada secercah garis ketenangan yang kulihat di wajahnya seperti akan menyiratkan senyum waktu-waktu beliau ceria dulu,…… dadaku yang baru saja bergemuruh kembali mereda saat ku rasakan komunikasi batinku itu menyisakan makna yang dalam…..begitu dalam…..dan sangat dalam sekali.
4
Pagi ini (Senin 11 Oktober)…. Aku coba memastikan bahwa aku akan berangkat ke KPPN, tapi sejenak terpikir lagi bagaimana Ibuku……. Selang beberapa waktu kemudian (06.50) akupun menerima telepon dari kakakku untuk menyuruhku pulang kembali, dadaku berdebar, gerangan apa yang terjadi? Kakakku bilang….kondisi ibuku sangat kritis!.....Tanpa berpikir panjang kubatalkan semua rencana pada hari ini. Dengan perasaan tidak tenang aku persiapkan segalanya termasuk wakil penggantiku untuk kegiatan di KPPN itu…kupersiapkan anak dan istriku untuk segera berangkat ke kampung kembali, ku telepon sopir yang akan membawa mobil, kutitipkan penjagaan rumah kepada salah seorang pegawaiku, kusuruh bersiap-siap beberapa orang ponakanku untuk bersama-sama pulang. Namun, masih menunggu semua betul-betul siap untuk berangkat, beberapa menit kemudian (07.47) telepon genggamku berdering lagi, kakakku memberitahu bahwa Ibu sudah berangkat keharibaanNya!… beberapa menit yll (07.35) inna lillahi wainna ilaihi raji’un. Rasa menggelegar lagi jantungku menerima kenyataan itu ….. aku berusaha untuk tenang dengan coba meyakinkan diriku bahwa Allah telah menentukan yang terbaik bagi Ibuku….Allah telah memberikan jalannya bagi Ibuku untuk terlepas dari beban yang dideritanya, Allah telah memberikan ketenangan pada Ibuku, tapi meski kuyakini itu, selama perjalanan aku tetap gelisah, sedih dan galau…..ku sesali kemaren kenapa kutinggalkan Ibuku, hingga aku tidak ikut melepas kepergiannya pagi ini. Seandainya Engkau memberikan pilihan padaku untuk tidak berangkat ke Malang, yang seharusnya juga hari ini, adalah hikmah dari keharusan aku tidak berada jauh dari Ibuku saat akan menghadapMu, kenapa Engkau hindarkan aku untuk ikut disampingnya pada detik-detik Engkau akan memanggilnya?, Adakah keputusan kemaren sesungguhnya tidak Engkau restui ya Allah?...... hati kecilku bertanya andaipun aku ikut melepas Ibuku menemuiNya….akankah aku sanggup menahan diri untuk tidak membebani beliau saat menjalani sakrat itu?, padahal menyaksikan ketidakberdayaan Ibu di pembaringan saja nyaris meruntuhkan dadaku. Adakah ini hikmahnya ya Allah?……… bertubi-tubi dialog dalam diriku terjadi selama perjalanan ke kampung pagi ini, namun aku tetap berusaha meyakinkan diriku atas pemberlakuan ketentuanNya…..aku juga tidak mau menjadi hamba yang tidak ikhlas atas ketentuanNya itu, meski ini sangat terasa berat kurasakan hari ini.
5
Perjalanan pulang ke kampung hari ini, kurasakan begitu lama, dan perasaan tidak sabar untuk segera menemui Ibuku yang telah terbujur kaku semakin menyentak dada pada saat kami dihadapkan dengan kemacetan jalan yang menambah kegusaranku …kubayangkan saat ini pastilah sudah banyak saudara, karib dan kerabat yang duduk di sekeliling pembaringan Ibuku, mereka tentu menunggu kadatanganku untuk mengawali penyelanggaraan jenazah Ibuku. Aku tetap berusaha untuk berdamai dengan emosiku sepanjang perjalanan itu, agar saat-saat kehadiranku di rumah, aku dapat menunjukkan keikhlasanku atas ketentuan Allah ini. Aku tepuk dadaku meyakinkan itu, karena aku tidak mau membebani perjalananan ibuku karena ketidak ikhlasanku itu. Tidak saatnya aku meratapi kepergiannya yang memang sudah menjadi ketentuanNya. Aku tekadkan dalam diriku untuk kuat mengantarkan Ibuku, aku tekadkan untuk ikut membaringkan jasad beliau ke liang lahadnya, dan… alhamdulillah, menit-menit menjelang memasuki pekarangan rumah…..aku merasakan betul-betul siap dengan semua itu. Aku melangkah pasti memasuki rumah duka menuju pembaringan Ibuku, kuberjalan tegar diantara orang-orang yang sudah bersiap untuk penyelenggaraan jenazah beliau, ku buka selubung wajah Ibuku yang sudah pucat, kukecup kening beliau yang dingin itu dan kupanjatkan doa untuk kelancaran perjalanan pulang sang Ibu tanpa setitikpun air mata mengalir dari kedua kelopak mataku….sebagai bukti keikhlasanku, dan….. alhamdulillah prosesi penyelenggaraan jenazah Ibuku dapat kuikuti dengan tegar sampai gundukan tanah memeluk jasad Ibuku.
6
Sepanjang hari ini, terlalu banyak hal yang kurasakan……semenjak pemakaman Ibuku ada kelegaan menyelinap dihati ini…Ibuku sudah tenang di haribaanNya, ….ya Allah, ampuni segala dosa-dosanya, balasilah semua amal ibadah beliau yang telah membesarku dan tempatkanlah ia di tempat yang selayaknya di sisiMu…..aku juga bersyukur kepadaMu, karena telah Engkau beri kekuatan dan keikhlasan padaku untuk menghadapi semua ini. Tak habis rasa syukurku karena banyaknya orang yang ikut menshalatkan jenazah yang diimami oleh kakakku, banyak orang yang menunjukkan simpati atas kepergiannya, banyaknya orang yang mengantar dan hadir disaat pemakaman, dan banyaknya pelayat datang ke rumah duka yang ikut menunjukkan rasa belasungkawa atas kepergiannya, itu semua pastilah merupakan kesan atas kebaikan-kebaikan beliau semasa hidupnya. Tak habis rasa syukurku atas orang-orang disekelilingku yang selama ini telah berbakti-tulus dalam memberikan perawatan terhadap beliau ; adikku Armini, Agus dan Amir, Ibuku Bainidar serta ponakan-ponakanku Dian, Dini, Dita dan Dewi. Mereka dengan ikhlas telah mengambil alih apa yang seharusnya menjadi kewajibanku, mereka telah berbuat pada beliau melebihi apa yang seharusnya aku melakukannya. Aku hanya dapat berdoa kiranya mereka selalu diberikan kesehatan dan kesejahteraan oleh Allah atas kebaikan-kebaikan mereka itu. Demikianpun untuk Fatihah, seorang perempuan muda yang sebenarnya tidak memiliki pertalian genetis dengan keluargaku, ternyata telah dengan sabar dan tulus merawat Ibuku dalam masa-masa akhir kehidupannya. Siang dan malam mendampingi Ibuku dan berbuat seperti layaknya terhadap Ibu kandungnya sendiri. Aku menyaksikan ketulusan dan kasih sayang itu terekspresi dalam perlakuannya terhadap Ibu.
Hari ini,… tiada yang lebih tepat kuucapkan selain rasa syukur yang dalam atas semua itu. Tuhan telah memberikan kepadaku seorang Ibu yang sederhana, polos, penuh kasih sayang dan sangat tulus, seorang Ibu yang setia dan sabar dalam membesarkan anak-anaknya, seorang Ibu yang peduli dan selalu menunjukkan empati kepada siapapun, seorang Ibu yang selalu berusaha untuk menyenangkan siapapun, seorang Ibu yang selalu mampu menyembunyikan rasa marah, gusar dan gelisah di saat ia merasa itu akan melukai dan mencemaskan orang lain.
Allahummaghfirlaha, warhamha, wa’aafihi wa’fu’anha, waakrim nuzulaha, waj’alil jannata matswaaha……amien!
Baca lanjutannya...
Hikmah dari Sang Kakek
Kakekku dulu pernah mengatakan : “….apapun yang telah dilakukan, bila itu telah difikirkan baik-baik, maka hasilnya itulah yang terbaik. Meskipun hasil itu, tidak dikehendaki, tetapi yakinlah ada sesuatu yang baik tersembunyi dibalik hasil yang kita dapatkan itu, hanya saja kita belum mengetahuinya”. Kata-kata kakekku itu sukar sekali untuk kucerna pada waktu itu, dan aku merasa kakek hanya bermaksud menghibur atas ketidakpuasanku terhadap hasil pekerjaan yang telah kulakukan. Lama sekali ungkapan kakekku itu mendapatkan pembuktian dalam kehidupanku, meski kata-kata itu masih saja aku ingat setiap kali aku akan melakukan sesuatu, sekecil apapun itu. Ada suatu “jembatan keledai”(mnemonic) yang ‘diciptakan’ oleh kakek untuk membuat aku bisa selalu mengingat kata-kata itu, meski tidak selalu ada buktinya. Kakek, menurutku, sangat cerdas untuk menciptakan yang satu ini di setiap “wejangan” yang akan diungkapkannya, bahkan seringkali ‘wejangan’ itu spontan keluar sesaat setelah ia mengalaminya langsung. Aku dulu sering bersamanya pada saat ia melakukan kegiatan rutin sebagai tukang kayu, maupun pada saat-saat berjalan ke mesjid yang selalu kulakukan bersamanya setiap menjelang subuh, pada saat-saat seperti inilah aku banyak mendapat “pengajaran” darinya. Kebiasaan kakekku, selalu berbicara tentang apa yang ada di depannya, tentang apapun
yang dialaminya. Menurut penilaianku, ia sangat empirisist, karena itu dia tidak pernah berbicara idealis (teoritis), tetapi selalu ada contoh empirik yang ia tunjukkan, meski itu hanya menjadi ‘alat pengingat’ semata, akan tetapi dari apa yang terucap dari mulutnya bagiku sangat teoritis sekali, sebagaimana salah satu “proposisi” yang aku ingat itu. Hari ini, sekali lagi, akupun memperoleh pembuktian empirik diri “teori” kakekku, meski ia telah meninggalkan kami sejak lebih kurang 40 tahun yang lalu (….Alluhummaghfir lahu warhamhu …amin! )
Baca lanjutannya...